Terdapat
satu penyakit hati yang bisa menjangkiti siapa saja, baik orang miskin maupun
kaya, orang pandai maupun bodoh, baik orang yang sedang diatas angin maupun
yang diujung tanduk, ialah rasa bangga. Rasa bangga sangat berbahaya, karena kerap
membuat kita rabun dan kurang waspada. Rabun sehingga terlalu tinggi memandang
diri sendiri dan kurang waspada sehingga tanpa sadar kita sedang memimpin diri
sendiri ke ambang kehancuran.
Dan
sayangnya, itulah yang saya alami. Selama ini saya sering merasa sering lebih
baik dari orang lain. Dalam banyak hal, misalnya tanggung jawab, antusiasme
dalam menyelesaikan tugas-tugas, semangat dalam belajar dan lain-lain yang sebenarnya mungkin menurut
anda tidak pantas membuat seseorang menjadi bangga (saking remehnya). Namun itulah
yang sempat saya alami. Rasa bangga adalah ketika kita merasa telah mencapai
sesuatu, dan bisa menjelma kesombongan ketika kita menganggap remeh orang lain
yang menurut pandangan kita tidak sama dengan kita. Pun saya, sempat menganggap
diri saya lebih karena memiliki hal-hal di atas.
Namun
alhamdulillah, mungkin karena lagi puasa (hehehe… ) atau karena menurut Allah
inilah saat yang tepat untuk meyadarkan saya supaya tidak kebablasan,
akhir-akhir ini Allah sedikit mengingatkan saya lewat suatu pengalaman kecil.
Inilah yang ingin saya bagi dengan teman-teman semua.
Seperti
biasa, meskipun bukan disengaja, liburan akhir semester genap di kampus saya
berjalan bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Dan seperti biasa juga, saya sempat
bingung bagaimana saya akan menjalani liburan panjang ini. Bayangkan betapa
jenuhnya bila kita harus menjalani liburan panjang selama hampir 2 bulan tanpa
kegiatan. Karenanya, saya memutuskan melamar ke sebuah biro jasa pembuatan web
sebagai salah satu karyawan freelance
untuk mengisi liburan ini.
Sayangnya,
ternyata saya sedikit salah informasi. Lowongan pekerjaan di biro tersebut
ternyata ditujukan untuk yang berminat menjadi karyawan fulltime sebagai content
writer. Pada awalnya pemilik biro yang saya temui menunjukkan tanda-tanda
kurang berkenan menerima saya karena di biro tersebut karyawan freelance sudah banyak. Namun karena
sudah bertekad, saya tetap bersikukuh untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.
Akhirnya, mungkin karena melihat kesungguhan saya pemilik biro memberi saya kesempatan.
Tapi saya diharuskan mengirim beberapa contoh tulisan hari itu juga.
Saya
bersedia karena menurut saya pekerjaan itu tidaklah sulit. Cukup menulis 5
hingga 8 artikel tentang tema tertentu dan harus di-approve semuanya oleh editor di biro tersebut. Disamping sedang
liburan sehingga banyak waktu untuk mengerjakannya, selama ini saya memang suka
menulis dan pernah bekerja sebagai karyawan outsourcing
di sebuah situs sebagai penulis profil tokoh. Jadi menurut saya saat itu saya
pasti bisa, lah. Saya kan sempat punya pengalaman.
Namun,
saya baru ingat ketika sudah ada di rumah, bahwa pekerjaan tersebut tidak akan
bisa saya kerjakan setelah liburan ketika kuliah sudah aktif. Biro tersebut
meminta saya mengirim artikel yang saya buat setiap harinya maksimal pukul 5
sore. Sedangkan, pada hari biasa di pagi hingga siang hari saya harus kuliah.
Bisa jadi, pemilik biro sempat kurang berkenan menerima saya karena pekerjaan
tersebut sebenarnya lebih cocok dilakukan karyawan fulltime yang hanya mengerjakan artikel setiap hari dari pagi
hingga sore hari. Akhirnya, saya menghubungi pemilik biro untuk menyampaikan
pengunduran diri saya.
Saya
tersadar, bahwa apa-apa yang saya pelajari di sekolah selama ini belum cukup
untuk menghadapi dunia kerja. Karena, setelah saya pikir-pikir, meskipun
sebagai karyawan fulltime pun saya
mungkin tidak bisa memenuhi standar biro tersebut. Mungkin dari segi
keterampilan, misalnya keterampilan menulis dan berbahasa Inggris (karena biro
meminta saya mengambil sumber dari web luar negeri) saya masih memenuhi syarat.
Namun saya ini orangnya mudah stres dan paling tidak bisa bekerja bila
dikejar-kejar deadline, sedangkan pekerjaan tersebut deadlinenya tiap hari (dan
mungkin banyak pekerjaan seperti itu) sehingga hampir bisa dipastikan setiap
hari saya akan merasa stres. Sekolah biasanya mengajarkan keterampilan atau
hardskill, sedangkan softskill seperti kemampuan memotivasi diri, manajemen
stres, dan lain-lain harus kita pelajari sendiri.
Saya
juga jadi berpikir, teman-teman yang tidak setekun saya waktu sekolah mungkin
bisa lebih berhasil karena pada dasarnya mereka orangnya santai dan bisa enjoy
dalam menghadapi hidup yang penuh tekanan. Hardskill mungkin lebih mudah dicari
dan bahkan bisa dengan cepat kita pelajari waktu sudah bekerja karena saat itu
kita langsung praktek, tidak hanya belajar teori. Selama ini saya cukup pede
karena nilai-nilai saya di sekolah cukup baik, namun ternyata bukan itu yang
benar-benar saya perlukan untuk bisa bekerja dan menghadapi kenyataan hidup
selepas kuliah.
Satu
lagi, saya jadi sadar bahwa saya tidak harus bangga dengan diri saya karena
sebenarnya pencapaian saya selama sekolah adalah lebih karena karunia Allah,
karena kebetulan saya ada di tempat yang tepat. Sekolah cenderung mengajarkan
hal-hal bersifat akademik dan potensi akademik saya mungkin kebetulan cukup bagus. Sedangkan, banyak dari
teman-teman saya sebenarnya berpotensi di bidang seni misalnya, namun karena
sekolah kurang memfasilitasi mereka jadi kurang “menonjol”. Dan malangnya, ada
dari mereka menjadi rendah diri dan merasa tidak dapat mengikuti pelajaran di
sekolah sehingga menjadi kurang pede.
Alhamdulillah,
Allah menyadarkan saya di Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Mudah-mudahan Ia
juga membantu saya memperbaiki diri dan menjauhkan saya dari sifat bangga dan
sombong.J